BEST COFFEE

Kamis, 29 Oktober 2020

Seperti Merah Putih (Cerpen)


Sumber gambar:

Dani memandangi lekat-lekat selembar kertas yang ia pegang di tangan kirinya. Ia menghela napas dengan kasar. Entah sudah berapa kali ia melakukan hal itu. Nyatanya, keresahan yang membebaninya tak kunjung hilang bersama setiap embusan napas yang dikeluarkannya. Justru kini perasaan itu semakin bertambah saja. 

Dani lalu membaca lagi –untuk kesekian kalinya– tiap baris yang tertulis dalam selembar kertas yang ia dapat dari kepala sekolahnya tadi siang, berharap isi surat yang ditujukan untuk orang tuanya itu berubah seketika. Namun, tentu saja percuma. Barisan kalimat yang menyusun surat itu tetap saja mengatakan bahwa ia diskors selama tiga hari ke depan. 


Diskors.

Diskors tiga hari.

Kata-kata itu terasa menghantamnya. Sangat kuat. Membuat pikiran Dani dipenuhi keruwetan yang sulit ia uraikan. Kata-kata itu, saat tercetus dari mulut kepala sekolahnya ataupun saat terbaca dari surat pemberitahuan oleh kedua matanya, tetap saja berefek sama bagi Dani. Berbagai perasaan berkecamuk dalam hati bocah empat belas tahun itu. Kecewa, tidak terima, ingin marah. Namun, semua perasaan itu terpaksa harus ia simpan dalam hatinya karena ketidakberdayaannya sendiri. 

Perasaan yang kini semakin membelitnya adalah perasaan takut mengecewakan. Ah, tidak! Dani menggeleng-gelengkan kepalanya. Sudah pasti ia akan mengecewakan seseorang. Hanya dalam hitungan jam, ia pasti akan melihat semburat kekecewaan tergambar nyata di raut wajah seseorang. Seseorang yang sangat istimewa dan berarti baginya. Orang pertama yang tidak ingin ia kecewakan dalam hidupnya.

Dani menjatuhkan tubuhnya di atas kasur yang terasa sedikit keras saat bersinggungan dengan punggungnya. Tangan kirinya masih menggenggam surat itu. Ia lalu menerawang memandangi langit-langit kamarnya tanpa tujuan yang jelas. Terlihat rembesan air hujan di beberapa bagian langit-langit kamar berukuran 2 x 3 meter persegi itu. 

Lagi-lagi ia melemparkan pandangannya pada secarik kertas itu lalu menghela napas. Bingung. Dani benar-benar tidak tahu bagaimana caranya menyampaikan isi surat itu pada ibunya. Wanita itu pasti akan sangat kecewa. Dani yakin seratus persen. Dani tahu bagaimana lelahnya sang ibu membanting tulang, bekerja menjadi buruh cuci di rumah-rumah tetangganya hanya untuk memenuhi kebutuhan makan dan sekolah ia dan kedua adiknya. Inikah balasan setimpal yang layak ia berikan pada wanita tangguh itu?

Dani merasa tidak sampai hati menyampaikan kabar tentang skors dari sekolah yang didapatnya. Kalau saja sebelumnya ia tahu bahwa tindakan beraninya di sekolah akan berakibat seperti ini, tentu Dani akan berpikir berulang-ulang untuk melakukannya.

Tiba-tiba terlintas sebuah ide dalam benak siswa Sekolah Menengah Pertama itu. Ibunya pasti tidak akan tahu-menahu soal skorsing dari sekolah jika ia tidak memberitahunya. Yang perlu Dani lakukan hanyalah berangkat sekolah seperti biasa dan tentu saja ibunya tidak akan tahu bahwa ia bukan berniat untuk pergi ke sekolah seperti hari biasanya. Mungkin jam sekolahnya selama tiga hari ke depan bisa ia gunakan untuk pergi ke pasar. Dengan begitu, ia bisa memulai jam kerjanya sebagai kuli angkut di pasar lebih awal. Di hari sekolah, biasanya Dani baru bisa mulai bekerja sepulang sekolah.

Dani kemudian meletakkan surat yang ia dapatkan dari sekolah ke dalam laci paling bawah meja belajarnya. Sesudahnya, Dani langsung kembali naik ke tempat tidur reotnya untuk segera memejamkan mata. Ia sempat melirik jam dinding yang ia dapatkan beberapa bulan lalu dari acara jalan sehat bersama di kelurahan. Jam satu malam. Ternyata sudah cukup lama ia menghabiskan malamnya untuk memikirkan perihal skorsing itu. Namun, kedua mata Dani tidak langsung terpejam seperti kehendaknya. Dari jam dinding yang ia lihat tadi, matanya lalu beralih memandangi sebuah poster berukuran cukup besar yang tertempel di dinding kamarnya yang terbuat dari tripleks. Poster yang ditempel tepat di bawah jam dinding itu digantungkan. Dalam poster tersebut tampak sosok berwibawa Soekarno, sang proklamator kemerdekaan Indonesia. 

Pikiran Dani langsung melayang pada bapaknya. Soekarno adalah tokoh yang begitu dikagumi oleh bapaknya. Dulu, bapaknya sering sekali menceritakan segala sesuatu tentang beliau padanya. Bapaknya memang sudah hafal di luar kepala mengenai sejarah hidup orang besar itu.

Di atas poster Soekarno tersebut, terdapat dua buah bendera merah putih berukuran kecil. Kedua bendera itu masing-masing dimasukkan ke dalam potongan bambu dengan panjang kurang dari tiga puluh centimeter. Keduanya dipasang dengan ujung-ujung batang bambu bagian bawah bersilangan, diikat dengan tali ke dua buah paku yang menancap di dinding. Mungkin usia Dani baru enam tahun saat bapaknya memasangkan bendera itu di kamarnya. Meskipun sudah hampir sepuluh tahun lamanya bendera itu terpasang di kamar Dani, warna merah putih bendera itu belumlah pudar.

Ya, merah putih. Dani jadi teringat dengan apa yang dikatakan bapaknya tentang warna merah putih sesaat setelah memasang bendera itu beberapa hari sebelum perayaan proklamasi kemerdekaan waktu itu. “Merah itu artinya berani dan putih artinya suci,” tukas bapaknya. Dani yang saat itu baru duduk di kelas satu sekolah dasar hanya diam. Didengarkannya dengan seksama penuturan bapaknya. “Jadi, merah putih bisa berati berani suci, berani bersih, berani berbuat benar, berani jujur. Sikap-sikap itu yang harus ada dalam diri kita, orang Indonesia. Bendera merah putih bukan cuma simbol yang kita kasih hormat setiap upacara … bendera itu menunjukkan sikap yang harus kita lakukan untuk jadi orang yang benar-benar merdeka,” terang bapaknya panjang lebar.

Dani sebenarnya tidak mengerti sepenuhnya apa yang bapaknya jelaskan. Namun, semakin usianya beranjak remaja, ia kini telah paham benar maksud bapaknya dulu. Ia telah belajar banyak dari bapaknya yang hanya seorang buruh pabrik itu. Belajar dari perkataan dan sikap yang dicontohkan bapaknya.

Bagi Dani, bapaknya adalah laki-laki paling mengagumkan dalam hidupnya. Akan tetapi, Dani masih belum mengerti bahwa keberanian yang bapaknya bicarakan waktu itu mengandung sebuah resiko. Seperti yang ia alami saat ini. Keberaniannya mengungkapkan kasus pemukulan teman-temannya oleh salah seorang guru di sekolahnya justru membuat Dani harus menerima hukuman. Dani dianggap telah memfitnah dan mencemarkan nama baik guru itu. Hal itu dikarenakan kedua teman Dani yang menjadi korban pemukulan tidak berani melaporkan guru mereka pada kepala sekolah. Mereka bahkan berusaha menutup-nutupi kejadian tersebut lantaran terlalu takut. Dani pun tidak bisa berkata apa-apa lagi setelah pengakuan kedua temannya ke kepala sekolah yang ternyata tidak sejalan dengan kejadian yang tanpa sengaja ia lihat beberapa hari lalu. Dani tidak memiliki bukti apa pun dan karenanya ia harus menerima skors dari pihak sekolah karena sang guru merasa tidak terima dengan tuduhannya.

Dani masih tidak habis pikir. Ia merasa apa yang dilakukannya sudah benar. Ia hanya bertindak seperti yang dikatakan dan dicontohkan bapaknya dulu: berani berbuat benar. Hanya itu. Kenapa keberaniannya justru membuahkan resiko buruk yang mau tidak mau harus ia terima?

Dani kembali memandangi bendera merah putih yang tidak pernah bergeser posisinya sejak bertahun-tahun lalu dipasang bapaknya itu. Tiba-tiba ia merasa tersentil. Kata-kata bapaknya waktu itu terngiang lagi olehnya. “… berani suci, berani bersih, berani berbuat benar, berani jujur.”

Dani benar-benar tidak bisa memejamkan matanya. Rangkaian kata itu memenuhi benaknya, membuatnya memikirkan ulang apa yang telah ia putuskan beberapa saat lalu. Kebohongan yang telah ia rencanakan tadi … apa pantas ia melakukan itu terhadap ibunya?

Benang-benang kusut dalam pikiran Dani yang sebelumnya telah terurai, kini kembali saling membelit dan menimbulkan keruwetan. Terbayang olehnya wajah sang ibu, wajah bapaknya, dengan backsound perkataan bapaknya yang terus saja terngiang-ngiang di telinganya.

Jarum pendek jam dinding di kamar Dani sudah bergeser sejak terakhir Dani lihat tadi. Jam dua dini hari. Sekarang Dani sudah yakin dengan apa yang akan dilakukannya pagi hari nanti. Ia tahu, ia tidak boleh setengah-setengah bersikap sesuai perkataan bapaknya yang tak lain merupakan pelajaran hidup penting yang didapatnya dari laki-laki itu. Pagi nanti, Dani akan berusaha mengumpulkan keberaniannya untuk berkata jujur pada ibunya tentang skorsing yang ia dapat dari sekolah.

Ya, Dani memutuskan untuk berkata jujur sekalipun ia tahu resiko apa yang akan diterimanya. Resiko yang paling tidak ia inginkan: kekecewaan ibunya.

***** 

Dani tidak peduli dengan napasnya yang sekarang sudah tersengal-sengal. Ia terus berlari. Bahkan bocah laki-laki itu terus mempercepat laju langkah kakinya. Aku tidak boleh terlambat, ujarnya dalam hati. 

Dani sudah berlari keluar dari permukiman tempat tinggalnya yang cukup kumuh. Tinggal menyebrangi sebuah jalan raya besar dan berlari lurus sekitar tiga ratus meter lagi, ia akan sampai ke tempat yang ditujunya.

Tap. Itu langkah kaki terakhirnya. Ia telah sampai di depan sebuah gerbang besi yang sudah tertutup rapat. Dani membungkuk. Kedua tangannya memegangi masing-masing lututnya. Ia berusaha mengatur napasnya agar kembali normal. Dani lalu melepas topi warna biru yang dikenakannya. Ia menyeka keringat di dahinya dengan punggung tangan kanannya. Beberapa detik kemudian, ia pakai lagi topi sekolahnya itu. Baju seragam Dani basah oleh keringatnya. Namun, lagi-lagi ia tidak peduli. Dalam hati ia merasa lega karena ia tidak terlambat datang.

“Upacara bendera dalam rangka memperingati hari proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia yang ke-67, Jum’at, 17 Agustus 2012, akan segera dimulai.”

Dani bisa mendengar jelas kalimat itu diucapkan dengan lantang oleh Mia. Teman sekelasnya itu memang bertugas sebagai pembawa acara di upacara hari ini. Menit-menit upacara bendera itu dilalui oleh Dani dengan khidmat sekalipun ia hanya bisa mengikutinya dari luar gerbang sekolah. 

Hari ini adalah hari terakhir ia diskors oleh sekolah. Andai saja Dani tidak mendapatkan hukuman itu, sudah tentu sekarang ia tidak berada di luar gerbang sekolah seperti ini. Dani pasti sekarang sedang berdiri tegap di lapangan upacara, lengkap dengan atribut yang ia gunakan sebagai petugas pengibar bendera.

Menjadi petugas pengibar bendera adalah hal yang sudah dinantikannya sejak lama. Seharusnya Dani menjadi salah satu dari petugas itu. Sayangnya, skorsing yang didapatnya membuatnya tidak bisa mewujudkan keinginannya sebagai pengibar bendera hari ini. Padahal ini adalah kesempatan pertama bagi Dani. Ia memang belum pernah dipercaya untuk mengibarkan bendera merah putih sebelumnya. Makanya, saat ia dipilih untuk melakukan itu dalam upacara peringatan proklamasi, Dani sangat senang. Ia bersungguh-sungguh berlatih agar tidak melakukan kesalahan apa pun saat upacara nantinya.

“Bendera siap!” Suara lantang itu mengagetkan Dani. Seharusnya ia yang mengucapkan dua kata itu. Seharusnya ia yang membentangkan bendera merah putih yang sebelumnya terlipat rapi dan mengujarkan dua kata itu. Ya, seharusnya ia di sana, memenuhi janjinya pada bapaknya dulu. Dani kecil memang pernah berjanji pada bapaknya bahwa suatu hari nanti ia akan menjadi petugas yang mengibarkan bendera dan ia akan membuat bapaknya bangga padanya.

Dani lalu mengangkat tangan kanannya setelah terdengar aba-aba untuk memberi hormat pada sang bendera. Lagu Indonesia Raya pun berkumandang. Dani ikut melantunkan lagu itu. Bendera merah putih mulai naik. Sedikit demi sedikit hingga akhirnya mencapai puncak tiang bendera bersamaan lagu Indonesia Raya selesai dinyanyikan. Bendera merah putih itu kemudian berkibar oleh angin.

Dani belum juga menurunkan tangan kanannya meskipun perintah untuk menyudahi pemberian hormat pada bendera telah terdengar. Matanya juga masih menatap lekat bendera merah putih yang terus berkibar di ketinggian.

Terbayang oleh Dani wajah bapak dan ibunya, orang tua paling hebat yang ia kenal. Bapaknya, yang enam bulan lalu meninggal karena menjadi korban tabrak lari, yang sudah mengajarkan padanya tentang makna merah putih. Laki-laki itu menjadi sosok pemberani panutan Dani.

Bendera merah putih itu juga mengingatkan Dani pada ibunya, pada keberanian ibunya untuk berjuang menghidupi keluarga mereka dan pada ketulusan perjuangan ibunya yang tak berharap apa pun selain yang terbaik untuk anak-anaknya. Wanita itu, yang meskipun merasa kecewa karena masalah skorsing yang Dani terima, berkata bahwa ia merasa bangga pada sikap berani yang ditunjukkan Dani. Mulai saat itu, Dani berjanji pada dirinya sendiri untuk menjadi anak yang bisa membanggakan ibunya.

Ya, Dani berjanji akan memegang teguh apa yang dipesankan oleh bapaknya sewaktu masih hidup dulu. Ia akan berusaha untuk tetap berani. Berani suci, berani bersih, berani berbuat benar, berani jujur … seperti merah putih.

*****
Bekasi, 16 Agustus 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar