Sumber: Koleksi Pribadi |
Ramadhan ini … bulan yang sangat indah …
Aku segera merogoh handphone yang ada di saku jeans hitam yang kukenakan begitu mendengar petikan lagu yang kujadikan dering suara telepon itu. “Ya, aku udah turun dari kereta kok! Ini udah di taksi,” sahutku pada seseorang yang meneleponku. Hanya perbincangan singkat selama sekitar dua menit, kemudian sambungan telepon itu putus.
Aku menghela napas. Huh! Lelah juga rasanya setelah menempuh lima jam perjalanan di kereta. Sepanjang perjalanan tadi, entah kenapa aku tidak bisa tidur. Mungkin aku terlalu ingin cepat sampai kota tujuanku ini. Aku terlalu antusias sampai tidak terhitung berapa kali aku berharap kereta itu bisa melaju lebih cepat lagi.
Akhirnya, aku memilih menghabiskan sebagian besar waktu perjalananku dengan membaca sebuah novel terbaru yang beberapa hari lalu aku beli saat ke toko buku. Baru separuh dari jumlah halaman buku itu kubaca, aku sudah merasa bosan. Aku pun melalui sisa perjalananku dengan memandangi pemandangan yang disuguhkan alam di sepanjang jalur yang dilewati kereta yang kutumpangi. Menikmati pemandangan hijau yang begitu memanjakan mataku. Pikiranku pun melayang pada semua yang akan kutemukan di tempat tujuanku ini. Suasana damai dan hangat kota kecil ini, keluarga, saudara, dan juga kau. Ya, tentu saja benakku langsung memproyeksikan bayanganmu begitu aku memikirkan kota kecil ini, kota tempat kita tumbuh bersama.
Sekarang pun, dalam perjalanan singkat yang kutempuh dari stasiun menuju rumah, aku kembali mengingatmu. Ah, menginjakkan kaki di kota ini ternyata membuat kerinduanku padamu semakin berkuasa dalam hatiku. Aku jadi bertambah tidak sabar. Rasanya bahkan ingin terbang, sampai ke tempat yang akan kutuju tanpa perlu melalui setiap jalan yang terasa tak berujung ini. Berlebihan memang. Padahal untuk sampai ke tempat itu, hanya memakan waktu kurang dari setengah jam. Tentu saja tidak terlalu lama. Selain karena jarak yang kutempuh tidak terlalu jauh, jalanan di kota kecil ini juga tidak mengenal kata macet. Sangat berbeda dengan setiap ruas jalan di Jakarta, kota tempatku meneruskan pendidikan tinggi.
Untung saja sekarang aku bisa pulang ke kota kita ini dan meninggalkan kemacetan serta semua keruwetan ibu kota untuk sementara. Aku berharap, menghabiskan sebulan waktu di kota ini bisa membuatku kembali fresh. Aku memang telah menantikan saat ini. Melewati satu bulan penuh Ramadhan bersama keluarga pasti rasanya jauh lebih menyenangkan ketimbang melaluinya di Jakarta tanpa siapa pun seperti dua tahun sebelumnya. Ya, kebetulan sekali Ramadhan tahun ini bertepatan dengan libur semester genap kampusku.
Hmm … bulan Ramadhan. Besok adalah hari pertama Ramadhan tahun ini. Hei, kapan terakhir kali kita melewati bulan berkah itu bersama-sama?
Kita selalu melewati satu bulan penuh berpuasa bersama-sama. Dulu, sebelum pada akhirnya aku memutuskan meninggalkan kota kecil kita untuk meneruskan kuliah di Jakarta. Berarti sudah dua kali bulan Ramadhan yang kulalui tanpamu. Semenjak aku berkuliah di luar kota ini, aku memang hanya bisa pulang kampung pada beberapa hari menjelang lebaran.
Ya, dulu kita selalu bersama. Bahkan kita belajar berpuasa bersama. Saat awal kita berpuasa dulu, aku sampai memintamu untuk menginap di rumahku agar bisa bangun dini hari dan makan sahur bersamamu. Siang harinya, sepulang sekolah, saat sedang lemas-lemasnya karena berpuasa, biasanya kita akan menghabiskan waktu dengan bermain di rumahmu atau rumahku. Rumah kita memang hanya terpaut beberapa rumah saja.
Namun, setelah usia kita beranjak belasan, kita tidak lagi menunggu waktu berbuka puasa dengan bermain dan bermalas-malasan. Setelah berganti seragam sekolah, aku langsung menuju rumahmu. Kita bersama-sama membantu ibumu menyiapkan semua dagangan yang akan dijual di sore hari menjelang waktu Maghrib tiba. Keadaan ekonomi keluargamu yang pas-pasan membuat ibumu harus mencari tambahan penghasilan karena pendapatan ayahmu sebagai buruh tani tidaklah mencukupi.
Setelah semua makanan yang akan dijual selesai disiapkan, kita menggelar dagangan itu di depan halaman rumahmu. Kau dan aku yang mendapat bagian melayani pembeli yang datang sementara ibumu berkeliling menjajakan kolak maupun gorengan yang dibuatnya.
Kau tahu? Itu adalah saat-saat menantikan waktu berbuka puasa yang sangat aku rindukan. Aku masih ingat bagaimana senangnya kau saat semua dagangan yang kita jual laku dibeli para tetangga. Dengan mata berbinar, kau menghitung semua pendapatan sore itu, kemudian berseru, “dapat banyak, Al!” Aku pun tersenyum melihatmu kegirangan seperti itu. Katamu, keuntungan dari penjualan makanan berbuka itu sebagian akan ditabung untuk membeli baju lebaran untukmu dan adikmu. Ah, mendengar ucapanmu saat itu aku jadi semakin bersemangat membantumu dan ibumu. Tentu saja, aku juga ingin melihatmu memakai baju baru saat hari lebaran.
Kehidupan keluargamu memang cukup berbeda dengan keluargaku. Kalau hanya untuk membeli baju lebaran, aku tidak perlu menabung sepertimu. Setiap tahunnya aku bahkan bisa dibelikan lebih dari dua baju baru saat hari raya. Untuk sekadar membeli makanan sahur, ibuku juga tidak harus berjualan makanan berkeliling seperti ibumu. Menu makanan berbuka maupun sahur di rumahku, meskipun tidak terlalu mewah, selalu enak dan bermacam-macam jenisnya. Itulah hal yang membuatku sering membawakan makanan berbuka puasa buatan mamaku untukmu dan juga sering memintamu untuk makan sahur di rumahku. Sebenarnya aku hanya ingin kau juga bisa menikmati makanan enak seperti yang kumakan.
Tidak pernah terbayang olehku jika aku berada di posisimu. Aku dulu suka heran mengapa kau terlihat tetap senang dengan keadaan keluargamu yang bisa dibilang kekurangan. Namun, suatu hari, di bulan Ramadhan yang kita lalui saat telah beranjak dewasa, aku pernah menanyakan hal itu padamu. Bagaimana bisa kau selalu tampak begitu menikmati semua kekurangan itu?
Kau tersenyum menanggapi pertanyaanku itu sebelum akhirnya kau menjawab, “kata ibuku, kita bisa bahagia karena keterbiasaan. Terbiasa untuk selalu bersyukur dan terbiasa untuk nggak mengeluh.”
Sesaat setelah kau selesai dengan jawabanmu itu, rasa malu langsung menderaku. Selama ini, aku bahkan masih sering tidak mau makan jika makanan yang disediakan ibuku tidak sesuai dengan seleraku atau saat aku sedang meminta sesuatu tetapi tidak kunjung dibelikan oleh orang tuaku. Aku juga masih sering mengeluhkan berbagai macam hal walaupun ayah-ibuku sudah memenuhi semua kebutuhanku dengan sangat baik.
Hari itu, aku semakin sadar bahwa kau adalah teman yang mengagumkan dan ibumu adalah sosok wanita yang luar biasa.
Oya, sejak kecil kita juga selalu mengaji bersama. Kau lebih pintar daripada aku. Kau bisa membaca Al-Qur’an dengan sangat lancar dalam waktu yang lebih singkat dariku. Makanya, aku sering memintamu mengajariku. Ingat tidak? Saat kau mengajariku dulu, aku pernah bilang bahwa kau sangat cocok menjadi guru ngaji. Kau tertawa mendengar penuturanku itu kemudian kau mengamininya. Kau bilang, kau memang ingin bisa mengajari anak-anak lain mengaji seperti mas Elang, guru mengaji di masjid dekat rumah kita dulu.
Ah, masih banyak kenangan menyenangkan dan berkesan selama melalui bertahun-tahun Ramadhan bersamamu. Semua itu masih sangat membekas di ingatanku seolah aku baru saja mengalaminya kemarin. Semua itu terasa sangat manis seperti permen yang dulu sering kita makan bersama saat masih kanak-kanak.
“Stop, Pak!” Aku berseru untuk menghentikan laju taksi yang dikemudikan oleh seorang laki-laki berperawakan besar itu. Ini memang belum sampai di tempatmu tapi aku bergegas turun dan meminta supir taksi itu menunggu untuk beberapa menit. Kurang dari sepuluh menit, aku kembali masuk ke dalam taksi dengan membawa beberapa tangkai mawar yang tersusun indah dalam satu rangkaian.
Ya, aku sengaja membelikan mawar-mawar ini untukmu. Aku tidak mungkin lupa bahwa kau sangat menyukai mawar putih.
Aku melirik jam tangan di lengan kananku. Sudah hampir jam tiga sore. Sebentar lagi aku akan sampai di tempatmu. Aku benar-benar tidak sabar. Kucium aroma segar mawar yang kugenggam. Aku lalu tersenyum. Aku tersenyum mengingat ekspresi wajah yang biasa kau tunjukkan saat menghirup wangi mawar.
Taksi yang kutumpangi akhirnya berhenti. Kuulurkan lembaran uang kertas kepada sang supir lalu beranjak keluar setelah kuterima uang kembaliannya. Aku memang tidak akan berlama-lama mengunjungimu tapi kurasa kunjunganku akan memakan waktu lebih lama dari membeli bunga tadi. Jadi, aku tidak meminta taksi itu menungguiku. Aku akan berjalan kaki saat pulang ke rumah nanti. Toh jarak dari tempat ini ke rumahku tidaklah jauh. Hitung-hitung sambil menikmati sore kampung kita. Tambahan lagi, barang bawaanku juga tidak banyak, hanya sebuah ransel berisi beberapa potong pakaian dan sebuah tas tangan.
Aku pun mengucap salam. Begitu berhadapan denganmu, kuulaskan senyum. “Hai!” sapaku pada nisan bertuliskan namamu, Rasti Widya Lestari. Aku kemudian meletakkan buket bunga yang kubawa di depan nisan itu.
“Lama nggak ketemu ya, Ras! Aku kangen sama kamu,” tukasku. Ya, sudah cukup lama sejak terakhir kalinya aku bertemu denganmu. Terakhir adalah saat aku menyempatkan diri pulang dua hari lamanya ke kampung kita lantaran nenekku jatuh sakit. Ya, itu yang terakhir karena sebulan setelahnya aku mendapatkan kabar bahwa kau meninggal. Aku berusaha secepat mungkin untuk datang dari Jakarta, untuk melihatmu kali terakhirnya, meskipun tak bisa kudapati lagi kau dengan senyummu yang begitu hangat.
Kepergianmu tidak bisa kuterima dengan mudah, Ras. Aku benar-benar merasa terpukul. Berpisah denganmu ketika aku hendak kuliah di luar kota saja rasanya menyesakkan apalagi harus berpisah denganmu seterusnya. Butuh waktu cukup lama sampai akhirnya aku menyadari bahwa kepergianmu adalah kehendak Tuhan dan kehilanganmu adalah sebuah takdir yang harus kuhadapi.
Lagipula, setelah kupikirkan baik-baik, aku tidak pernah kehilanganmu kok, Ras. Bagaimana mungkin aku kehilanganmu sementara semua tentangmu masih tersimpan dengan amat rapi dalam memoriku? Itu membuatku merasa kau selalu ada, di dekatku, di pikiranku, dan juga di hatiku. Kau bahkan masih bisa membuatku tersenyum. Cukup dengan memanggil ingatan tentang sepenggal kebersamaan kita, aku pasti akan tersenyum sambil mengingat itu.
“Mbak Alda?”
Sebuah suara mengagetkanku. Aku mengenali suara itu. Suara lembut itu adalah suara adikmu, Ras.
“Laras, bikin kaget aja nih,” reaksiku dengan spontan.
Adikmu menyunggingkan senyuman. Senyumannya manis, sama seperti senyumanmu. Bahkan melihatnya berbusana muslimah dan berkerudung seperti sekarang membuatku seperti melihatmu, Ras. Seingatku, terakhir kali aku pulang kampung, adikmu belum berpenampilan seperti itu. Sekarang, ia jadi semakin tampak sangat mirip saja denganmu yang telah memutuskan untuk berkerudung sejak kita SMA.
“Maaf, Mba! Kapan sampai dari Jakarta?” tanya adikmu kemudian.
“Ini baru aja sampai, malah belum sempat ke rumah,” balasku padanya.
Lima belas menit kemudian, kami beranjak pulang. Di tengah perjalanan pulang, kami membicarakan banyak hal, tentang apa-apa saja hal yang terjadi di kampung kita selama hampir setahun aku tidak pulang, tentang keluarga kalian, dan sudah pasti juga tentangmu.
“Jadi, sekarang kamu gantiin Rasti ngajar ngaji di masjid? Udah dari kapan?” tanyaku balik saat menanyakan apa kegiatan yang dilakukan adikmu sekarang.
“Udah lumayan lama kok, Mba! Setelah mba Rasti nggak ada kan, masjid kita jadi kekurangan tenaga untuk mengajar anak-anak. Ya, aku pikir nggak ada salahnya aku menggantikan mba Rasti di sana. Lagipula, itu nggak terlalu menyita waktu kok, Mba! Aku juga masih bisa kerja sampingan sehabis kuliah,” tutur adikmu menjelaskan.
Aku tersenyum. Aku bangga padanya, Ras. Kau juga pasti begitu. Kau pasti sangat senang jika melihat adikmu bisa meneruskan pendidikannya di bangku kuliah. Berbeda denganmu yang setelah lulus SMA lebih memilih untuk bekerja karena kau ingin membantu keuangan keluargamu. Kau dulu pernah bilang padaku, uang dari hasil kerjamu sebagian akan kau simpan untuk persiapan kuliah adikmu yang terpaut dua tahun usianya dari kita. Lihatlah, Ras, sekarang harapanmu terhadap adikmu itu sudah terwujud!
“Ras, Mba boleh nggak ikut bantu ngajar ngaji anak-anak selama Mba libur di sini?” Tiba-tiba saja aku memiliki keinginan seperti itu.
“Mba beneran mau?” Adikmu tampak antusias mendengar pertanyaanku tadi.
Aku mengangguk. Ia kemudian berseru “alhamdulillah”.
Ya, tidak ada salahnya kan, Ras, kalau aku juga mengikuti jejakmu mengajari anak-anak mengaji? Kau tidak perlu khawatir. Bertahun-tahun sebelumnya aku sudah belajar mengaji dari guru sekaligus teman terbaik yang kupunya. Ya, tidak akan sia-sia kau pernah mengajariku dulu.
Hari sudah sore, bulan Ramadhan sudah di depan mata. Ramadhan tahun ini, sekalipun akan kuhabiskan dengan berada di kampung kita, tetapi akan kulalui tanpamu, Ras. Meskipun tidak ada lagi kebiasaan-kebiasaan saat Ramadhan yang bisa kita lakukan bersama, aku sudah cukup senang. Kau tahu? Dengan tinggal di sini saja sudah membuatku merasa dekat denganmu. Aku yakin Ramadhanku kali ini akan seperti dulu, seindah Ramadhan yang kulalui bersamamu.
*****
Tidak ada komentar:
Posting Komentar