BEST COFFEE

Minggu, 07 Februari 2021

AKU INGIN BELAJAR MENCINTAIMU


“Nur, maju ke depan!” perintah guruku waktu itu.

“Kerjakan soal nomor 5! Ayo cepat, jangan melamun saja!” tambahnya.

Sebenarnya aku tidak melamun tapi aku membayangkan bagaimana jika aku ditunjuk untuk maju oleh guru yang dianggap killer di sekolahku (mungkin beliau tidak benar-benar killer, tapi wajahnya memang seram sih). Sekarang hal itu benar-benar terjadi. “Kenapa yang aku pikirkan malah menjadi kenyataan?” sesalku dalam hati.

Akhirnya aku maju ke depan kelas tanpa tahu apa yang akan aku tulis. Aku mengambil kapur pelan-pelan dengan harapan bisa mengulur waktu dan bel tanda pelajaran usai segera berbunyi. Tapi tentu saja dewi fortuna tidak akan berpihak padaku karena pelajaran baru berlangsung lima belas menit.

“Apes banget!” batinku berkata.

“Ayo cepat tulis! Kamu itu bagaimana sih, duduk di depan sendiri tapi soal mudah saja tidak bisa menjawab. Bisa atau tidak? ” guruku mulai geram karena aku tidak kunjung menulis jawaban. 

“Cepat tulis! Ya sudah, saya diktekan! The bus always go to halte.” 

Aku baru saja menuliskan kata pertama dan guruku sudah sewot. ”Nulis 'the' kok kayak gitu!”.

Seperti kita tahu bahwa pengucapan dan penulisan dalam bahasa Inggris itu berbeda. Namun, karena itu untuk pertama kalinya aku belajar bahasa Inggris, aku masih belum memahaminya. Waktu itu aku ingat malah menulis “nde”. Tanpa memberiku kesempatan lebih lanjut, guru itu langsung menyuruhku duduk kemudian memarahiku.

Sejak saat itulah, Kawan, pelajaran yang paling membuatku senang ketika kosong adalah pelajaran bahasa Inggris. Sejak saat itu pula rasa antusiasku pada bahasa inggris MUSNAH!!!. Aku selalu berharap ketika ada penyuluhan atau sosialisasi apa pun akan mengambil jam pelajaran bahasa Inggris. Namun, memang terkadang harapan tidak sesuai kenyataan. Aku tetap saja harus menghadapi pelajaran bahasa Inggris tiga kali seminggu. Mungkin bukan pelajaran bahasa Inggrisnya tapi gurunya lah yang membuatku enggan untuk belajar bahasa Inggris. Hal tersebut tentu sangat berpengaruh pada penguasaanku terhadap bahasa Inggris pada waktu itu.

Sampai suatu ketika tibalah saat try out ujian SMP. Seperti kebanyakan siswa yang lain, aku pun mempersiapkan try out dengan lebih banyak belajar. Singkat cerita, try out berlangsung dengan lancar. Akan tetapi, saat kelasku sedang mengikuti pelajaran olahraga, tiba-tiba guru bahasa Inggris yang mengajarku di kelas 3 datang.

Where is Nurdiyah?” tanya guru itu kepada temanku.

“Ini Pak,” jawab temanku sambil menunjukku penuh tanda tanya.

Tanpa basa-basi sedikit pun guru itu langsung berkata, “you get very very bad. Four!!!” jelas guruku sambil menunjukkan jarinya seperti anak SD yang sedang berhitung.

Lemaslah semua tulang sendiku waktu itu. Antara percaya dan tidak mendengar ucapan guruku yang sangat terus terang itu. Akhirnya aku memang harus percaya dengan ucapan guruku karena ketika hasil try out diumumkan aku benar-benar mendapat nilai 4. Secara otomatis aku tidak lulus try out. Aku adalah satu diantara tujuh siswa yang tidak lulus dalam kelasku. Hal itu membuatku cukup terpukul. Hal itu juga menambah kebencianku pada bahasa Inggris.

Aku beruntung memiliki keluarga yang begitu peduli dan menyayangiku. Bapak dan Simbokku tahu betul bahwa memarahiku karena ketidaklulusanku dalam try out  tidak akan menyelesaikan masalah. Jadi, mereka tidak melakukan hal itu. Mereka memilih untuk mendampingi aku dengan cara mereka sendiri. Dalam hal pendidikan aku selalu di-support oleh pakdheku yang merupakan seorang guru. Beliau yang selalu mencarikan jalan keluar ketika aku mengalami kesulitan dalam hal pendidikan. Beliau pun kemudian mencarikan guru les dadakan bahasa Inggris untuk dipanggil ke rumah. Aku katakan dadakan karena waktu itu memang H-3 ujian dan aku baru mulai les bahasa Inggris (hehehe, nekat juga ya).

Perjuangan dan do’a selama tiga hari menjelang ujian ternyata membuahkan hasil. Aku berhasil lulus dengan nilai bahasa Inggris 7. Nilai yang cukup bagus mengingat pernah tidak lulus dalam try out dan baru mengikuti les H-3.

Kawanku, ternyata kesan pertama saat aku belajar bahasa Inggris masih terbawa sampai aku duduk di bangku SMA. Pengalaman ketika SMP ternyata begitu berpengaruh. Saat SMA pun aku masih tidak menyukai bahasa Inggris walau guru yang mengajar sudah berbeda. Aku hanya mendapat nilai 7 ketika ujian nasional SMA. 

Saat akan kuliah aku memilih jurusan matematika karena aku tidak ingin bertemu lagi dengan bahasa Inggris. Aku memang suka berhitung dan otak-atik soal angka. Aku bisa semalaman mengerjakan satu soal matematika karena penasaran jika tidak ketemu hasilnya. Ketika soal itu berhasil dipecahkan, aku merasa senang dan puas.

Ada sebuah pepatah lama yang berbunyi “batas antara cinta dan benci itu sangat tipis”. Siapa yang menyangka aku yang tidak suka bahasa Inggris (bahkan bisa dikatakan trauma) pada akhirnya bisa mulai menyukainya. Hal itu bermula dari ajakan teman lamaku untuk belajar bahasa Inggris di Kampung Pare.

“Liburan semester ini kemana nur?”

Sebuah sms kuterima dari teman SMA-ku, Atiqoh namanya.

“Belum tw tiq, liburan tiga bulan mw kmn ya? Bosen nek di rmh trus.” Tak lama aku membalas sms atiqoh.

“Ayo ke pare aj bljar bahsa inggris. Masak meh disalatiga trus. Kpn mw maju? Katanya mau berpetualang?” balas sms-nya.

Membaca tulisan “Kpn mw maju? Katanya mau berpetualang?” hatiku panas. Ah anak ini pandai sekali mempengaruhiku. Dia tahu bahwa pada dasarnya aku memang suka berpetualang. Akhirnya aku setuju untuk menghabiskan liburan satu bulan di semester 3 itu untuk belajar bahasa Inggris di Pare.

Pare adalah kampung bahasa Inggris dimana semua warganya menggunakan bahasa Inggris dalam percakapan sehari-hari, mulai dari penjual warteg bahkan samapai tukang becak juga tak ketinggalan. ”Never mind”  adalah kata yang lazim digunakan oleh bapak tukang bakso di kampung itu. Gaul kan, Kawan?

Kampung Pare terletak di Kediri dengan keadaan geografis yang sangat datar. Kendaraan utama yang digunakan di sana adalah sepeda onthel. Meskipun udara cukup panas tetapi tempat ini tak pernah sepi dari pendatang yang ingin belajar bahasa Inggris.

Nah, inilah awal mula aku mulai menyukai bahasa Inggris. Selain teman dan lingkungannya kondusif untuk belajar bahasa Inggris, banyak guru yang mengajar dengan metode yang berbeda dan menyenangkan. Satu hal yang membuat aku tercengang, guru yang mengajariku speaking waktu itu berkata, “jika ingin belajar bahasa Inggris, maka stop studying grammar, stop studying grammar dan stop studying grammar!!!“ Kata-kata itu diucapkan tiga kali sehingga membahana di telinga para muridnya yang berjumlah tujuh belas orang. Bagi kami para pemula dan saya yang notabenenya pernah mengalami pengalaman  traumatis pada bahasa Inggris, kata-kata itu terasa menyejukkan hati dan membuat kami bersorak hore!!!.

“Bahasa adalah alat komunikasi dengan orang lain. Untuk bisa berkomunikasi syaratnya adalah yang diajak bicara paham. Itu saja, tidak perlu grammar” ia menambahi penjelasannya. Selama ini kami trauma dan takut belajar bahasa Inggris jika sudah menyangkut grammar. Apalagi bila sudah masuk ke tenses yang jumlahnya ada enam belas. Pasti mabok −mabok darat, laut, dan udara. Eh, sekarang disuruh berhenti belajar grammar oleh orang yang sudah ahli dalam bahasa Inggris. Alhamdullilah yah sesuatu :).

Kata-kata itu seperti menyihir kami semua. Yang semula takut bicara bahasa Inggris karena takut salah grammar, sekarang hajar kanan hajar kiri seenaknya saja. Tanpa sadar sedikit demi sedikit aku mulai menyukai bahasa Inggris. Aku juga mulai berpikir bahwa bahasa Inggris adalah sebuah bahasa. Fungsi dari bahasa adalah untuk berkomunikasi satu sama lain. Aku bicara kamu mengerti, maka sudah, selesai. Meski tidak benar untuk berhenti belajar grammar karena ketika kita mau menulis dalam bahasa Inggris kita membutuhkan grammar , tapi untuk sebuah percakapan tinggal ucap saja tidak usah berpikir terlalu banyak. “Don’t afraid to make mistake”.

Secara disiplin ilmu, matematika dan bahasa Inggris, keduanya sangatlah berbeda. Matematika adalah pengetahuan dan bahasa Inggris adalah kemampuan. Banyak rumor yang mengatakan bahwa orang yang pandai matematika tidak bisa berbahasa Inggris, begitu pula sebaliknya. Nampaknya rumor ini harus kita singkirkan dari pikiran kita. Karena sekali lagi, bahasa Inggris adalah bahasa yang berfungsi untuk komunikasi. Aku bicara kamu mengerti maka persoalan selesai. Jadi, untuk kawan-kawanku yang mencintai matematika namun tidak menyukai bahasa Inggris, mari mulai sekarang belajar bersama-sama untuk mencintai bahasa Inggris sebagaimana kita mencintai matematika.

Pengalaman di masa lalu biarlah kita jadikan spion penunjuk jalan ke depan. Meski kita punya segala alasan untuk menyerah dan berkata, “yah wajar jika saya tidak bisa”, tapi kita selalu punya dua pilihan: pasrah dengan keadaan atau menerima tanggung jawab untuk berubah.

Di akhir tulisan ini saya hanya ingin menyebarkan satu virus, yaitu "virus cinta". Ya, virus cinta kepada bahasa Inggris. 

Love it, Love it , Love it!!

***

By: Nurdiyah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar